Penulis: Karto
Dalam pidato peringatan Hari Guru
Nasional 2024, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menekankan tiga makna
utama tema tersebut. Salah satunya yang menjadi sorotan saya yaitu penegasan
arti penting guru sebagai profesi yang memiliki kedudukan strategis dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru bukan sekadar pendidik, tetapi juga
pembimbing yang membantu murid menemukan potensi terbaik mereka. Bagus sekali
dan saya suka sekali statement ini.
Jika berbicara menemukan potensi murid, mari kita bercerita mengenai iklim
sekolahnya itu sendiri.
Dewasa ini, kita guru sering
sekali dibekali pelatihan-pelatihan, pembelajaran-pembelajaran, bahkan
diberikan platform khusus untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran bagi murid. Saya yakin memang, sebagian
besar diantaranya berpengaruh positif terhadap perkembangan peserta didik,
rapor pendidikan meningkat, dan angka-angka statistik lainnya meningkat. Namun
lewat pelatihan-pelatihan ini pula saya menemukan pemikiran-pemikiran yang
‘agak laen’ tentang bagaimana sekolah yang ideal seharusnya berhamba pada murid
sesuai filosofi Ki Hajar Dewantara. Saya terus memikirkan, apakah yang sudah
saya upayakan dikelas ini, di mata pelajaran saya ini yaitu matematika, sudah
murni mengakomodir apa yang diinginkan murid. Ataukah saya hanya memaksakan
kehendak saya, ego saya, agar murid mengutamakan pelajaran saya, senang dikelas
saya, tanpa benar-benar mendalami apa yang mereka inginkan.
‘Ayo
nak, bapak punya ice breaking baru, ayo nak bapak punya media baru, ayo nak
bapak punya metode baru dari hasil pelatihan kemarin, kalian pasti senang
belajar, yuk masuk kelas bapak!’
merayu-rayu kita guru kepada mereka para murid. Iya memang pengaruhnya
terkadang terasa dari motivasi belajar murid didalam kelas, namun pada saat tes
mereka kembali ke setelan pabrik, karena apa, mereka jarang sekali mengulang,
sementara keikhlasan dalam mengulang adalah salah satu indikator bakat murid,
potensi murid selain dari asyik, puas, cepat belajar, dan terakhir keinginan
untuk mengulang yang merupakan indikator-indikator dalam satu kesatuan. Apakah
sebenarnya ini harapan utuh yang mereka cari disekolah? Bagi sebagian murid
pasti iya, namun yang lain tentu tidak.
Saya
mencontohkan pada diri saya sendiri, saya selalu merasa bahwa saya adalah salah
satu murid yang terlambat mengenal potensi saya sendiri pada saat sekolah,
seharusnya ada beberapa potensi lagi dalam diri saya yang dapat dilatih. Pada
saat menjadi murid di sekolah hingga kuliah, saya tidak percaya diri berbicara
didepan umum, tidak begitu mahir dalam bidang teknologi, tidak begitu mendalami
bidang agama, tidak terlalu menguasai berbagai jenis olahraga, pada intinya
saya tidak tahu apa potensi non akademik yang saya miliki. Saya hanyalah murid
yang selalu menghafal jadwal masuk kelas guru tiap harinya dan mempersiapkan
diri untuk mengikuti pelajaran di kelas tanpa tau apa potensi saya lainnya.
Saya memang lumayan baik dalam akademik waktu itu sebagai murid, namun dibalik
itu ada beberapa hal yang saya sesali yaitu potensi-potensi lain pada diri saya
yang terlambat saya kenali karena tidak adanya program intens di sekolah untuk menaungi itu semua.
Tidak
hanya pada diri saya, beberapa kawan terutama yang lahir pada generasi betapa
menentukannya Ujian Nasional mengeluhkan hal yang sama. Berapa banyak gitar
patah, alat lukis yang terbuang, suara emas yang terbungkam, ketika disela-sela
waktu belajar akademik anak-anak ini menyempatkan diri main gitar, melukis,
menyanyi dikamar masing-masing lalu ketahuan orang tuanya sambil berteriak, ‘yang kau lakukan tidak dapat membantumu
lulus sekolah, tinggalkan itu!’. Bagaimana
anak-anak ini akan bekerja, berusaha, berbisnis, sesuai passion-nya masing-masing jika hal-hal yang menjadi keinginan
positifnya dihambat? Maka tidaklah heran dimasa sekarang bahkan dimasa depan
kita akan tetap krisis SDM yang bercita-cita menjadi pengusaha.
Hal
tersebut banyak pula saya temui pada murid-murid saya sekarang ini. Mereka
cenderung belum mengenal apa potensi bakat yang mereka punya untuk terus
dilatih karena wadah untuk mengenali, mengamati potensinya tidak ada disekolah.
Kebanyakan main tembak saja, mereka suka ini, suka itu, lalu dimasukkan kedalam
kelas ekstrakurikurikuler seminggu sekali, padahal rasa suka bukanlah
satu-satunya indikator suatu bakat melainkan satu kesatuan dengan rasa asyik,
puas, cepat belajar, dan rasa ingin terus mengulang. Butuh wadah pengamatan
intens dan program sekolah untuk mengamati itu semua. Maka saya sering memikirkan,
bagaimana menyeimbangkan ini semua disekolah antara akademik dan non akademik
harus memiliki porsi yang minimal tidak jauh berbeda. Jika ada empat minggu
dalam sebulan, bolehlah satu minggu anak-anak ini berpesta dengan bakatnya
masing-masing dengan bimbingan guru masing-masing tentunya. Saya bersyukur
sekali bertemu rekan guru lain yang kolaboratif, tidak mementingkan egonya
masing-masing, dan saling mendukung satu sama lain. singkat cerita, hadirlah
program Talent Week disekolah kami
SMP Negeri 8 Toboali. Pemikiran dan program ini tergolong masih waras sebagai
guru atau tidak? Tentu harus diuji jangan sampai saya tersesat terlalu jauh.
Hadirlah
Jambore GTK Hebat 2024, sebuah ajang apresiasi bagi guru-guru yang memiliki
inovasi dan dedikasi di sekolahnya masing-masing. Saya bawa program Talent Week kedalam ajang ini, tujuan
salah satunya menguji kewarasan saya tadi. Hasilnya ya masih cukup waras,
ditingkat Provinsi, dipresentasikan didepan pakar pendidikan salah satu kampus
besar di Indonesia, Talent Week masih
mendapat apresiasi dari seluruh juri dan akan berlanjut pada ajang Jambore GTK
Hebat tingkat Nasional pada 27 November nanti. Tidak muluk-muluk, jika saya
berkesempatan mempresentasikan kembali, saya ingin menyatakan bahwa apapun
kurikulumnya, apapun buku, kebijakan dan lain halnya, iklim sekolah harus
memiliki keseimbangan program akademik dan non-akademik bagi murid, apapun nama
programnya, biarkan para murid menemukan, mengasah, berpesta dan berkarya
sesuai bakat dan passion-nya
masing-masing serta tidak hanya mengandalkan ekstrakurikuler. Didalam
sepakbola, kalau bisa cetak Goal dan
menang dalam 90 menit, kenapa harus ada extra
time?
No comments:
Post a Comment